Suami-Istri UMKM Memilih Terpisah, Bagaimana Perhitungan PPh Finalnya?
Berdasarkan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenai PPh yang bersifat final. Penerapan PPh final ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 55 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).
Untuk perhitungan pajaknya mengacu pada pasal 60 ayat (1) hingga pasal 60 ayat (4) PP 55/2022, yang berbunyi,
“(1) Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a, atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.00,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan.
(3) Bagian peredaran bruto dari usaha tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
(4) Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.”
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan adalah jumlah peredaran bruto dalam bentuk imbalan atau nilai pengganti berupa uang atas penghasilan dari usaha yang diperoleh setiap bulannya sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, ataupun potongan sejenis. Namun, atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh). Bagian peredaran bruto yang tidak dikenai PPh tersebut merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak masa pajak pertama dalam suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Perlu diketahui, jika istri ingin melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah dari suami, maka peredaran bruto dari usaha tersebut sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak yang tidak dikenakan pajak penghasilan juga dihitung secara terpisah antara istri dan suami. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (5) huruf b Peraturan Menteri Keuangan No. 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PMK 164/2023).
Contoh Kasus:
Tuan A dan Nyonya M merupakan suami-istri yang memilih melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri-sendiri berdasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf c UU PPh. Tuan A memiliki usaha bengkel otomotif di kota X dan Nyonya M memiliki usaha rumah makan di kota X. Pada tahun pajak 2024, Tuan A dan Nyonya M memenuhi persyaratan untuk dikenai PPh bersifat final sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) PMK 164/2023.
Peredaran bruto atas penghasilan dari usaha Tuan A dan Nyonya M serta perhitungan pajak penghasilan untuk tahun pajak 2024 sebagai berikut:
Tuan A
Bulan |
Peredaran Bruto |
Bagian Peredaran Bruto yang Tidak Dikenakan PPh |
DPP |
PPh Final |
Januari |
Rp150.000.000 |
Rp500.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
Februari |
Rp50.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
Maret |
Rp100.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
April |
Rp200.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
Mei |
Rp150.000.000 |
|
Rp150.000.000 |
Rp750.000 |
Juni |
Rp120.000.000 |
|
Rp120.000.000 |
Rp600.000 |
Juli |
Rp50.000.000 |
|
Rp50.000.000 |
Rp250.000 |
Agustus |
Rp130.000.000 |
|
Rp130.000.000 |
Rp650.000 |
September |
Rp100.000.000 |
|
Rp100.000.000 |
Rp500.000 |
Oktober |
Rp50.000.000 |
|
Rp50.000.000 |
Rp250.000 |
November |
Rp70.000.000 |
|
Rp70.000.000 |
Rp350.000 |
Desember |
Rp30.000.000 |
|
Rp30.000.000 |
Rp150.000 |
Total |
Rp1.200.000.000 |
Rp500.000.000 |
Rp700.000.000 |
Rp3.500.000 |
Nyonya M
Bulan |
Peredaran Bruto |
Bagian Peredaran Bruto yang Tidak Dikenakan PPh |
DPP |
PPh Final |
Januari |
Rp70.000.000 |
Rp500.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
Februari |
Rp50.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
Maret |
Rp30.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
April |
Rp150.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
Mei |
Rp150.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
Juni |
Rp50.000.000 |
Rp0 |
Rp0 |
|
Juli |
Rp50.000.000 |
|
Rp50.000.000 |
Rp250.000 |
Agustus |
Rp130.000.000 |
|
Rp130.000.000 |
Rp650.000 |
September |
Rp100.000.000 |
|
Rp100.000.000 |
Rp500.000 |
Oktober |
Rp50.000.000 |
|
Rp50.000.000 |
Rp250.000 |
November |
Rp70.000.000 |
|
Rp70.000.000 |
Rp350.000 |
Desember |
Rp30.000.000 |
|
Rp30.000.000 |
Rp150.000 |
Total |
Rp930.000.000 |
Rp500.000.000 |
Rp430.000.000 |
Rp2.150.000 |
Dari contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa besaran PPh Final terutang antara Tuan A dan Nyonya M dihitung secara terpisah. Oleh karena itu, diperlukan suatu pencatatan terpisah atas peredaran bruto antara suami dan istri.